TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Instalasi Farmasi RS Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. tepat. Rina Mutiara mengatakan, sebenarnya dokter ingin meresepkannya fitofarmaka Untuk pasien. “Dokter memang ingin meresepkan fitofarmaka kepada pasien, tapi karena tidak ada jaminan, maka mereka menggunakan metode pengobatan lain,” kata Rina dalam Forum Hilir Fitofarmaka yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Farmakologi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Senin, Desember 4 Agustus 2023.
Fitofarmaka merupakan obat alami yang efektivitas dan keamanannya telah teruji secara klinis. Fitofarmaka termasuk dalam obat, yaitu obat yang berasal dari bahan alam yang secara klinis terbukti sama efektifnya dengan obat hasil sintesis kimia. Meski Formularium Fitofarmasi telah dibuat oleh pemerintah, sayangnya Fitofarmasi belum masuk dalam Program Resep Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sehingga banyak dokter yang belum bisa meresepkannya kepada pasien JKN.
Parahnya lagi, karena tidak ada peraturan yang mendefinisikan Fifofarmaka setara dengan obat sintesis kimia, perusahaan asuransi kesehatan swasta tidak dapat menerima klaim resep Fitofarmaka di rumah sakit, klinik atau apotek, karena masih dianggap sebagai golongan obat tradisional.
Menurut Rina, saat ini 90 persen pasien di RS pemerintah merupakan peserta BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, dokter harus meresepkan obat yang tercantum dalam Formularium Nasional JKN. Sedangkan bila suatu obat tidak dimasukkan ke dalam Formularium Nasional, maka rumah sakit biasanya tidak memasukkannya ke dalam Formularium Rumah Sakit.
Jadi sebenarnya fitofarmaka mulai diresepkan oleh dokter karena diuji pada hewan dan manusia, namun sebenarnya tidak diresepkan secara besar-besaran oleh dokter atau dokter di rumah sakit, kata Rina.
Rina berharap fitofarmaka segera masuk dalam Formularium Nasional, meski saat ini Kemenkes sudah meluncurkan Formularium Fitofarmaka. Namun formularium Fitofarmaka belum mengandung fitofarmaka yang dapat diklaim melalui BPJS Kesehatan. “Saat persiapan Fornas sudah ada usulan dari RSCM, namun tidak diterima karena Kementerian Kesehatan sudah menyiapkan formula Fitofarmaka,” kata Rina.
Sekadar informasi, Komite Nasional Formularium Nasional telah menyusun daftar obat JKN berdasarkan masukan dari berbagai pihak terkait, termasuk dokter dan rumah sakit. Komite ini terdiri dari perwakilan pemerintah dan organisasi profesi medis.
Ketua Persatuan Obat Herbal Indonesia (PDHMI), Dr. dr. Slamet Sudi Santoso juga mengungkapkan, fitofarmaka sulit masuk JKN. Padahal, kata dia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tengah gencar memberikan edukasi kepada anggotanya mengenai peresepan fitofarmaka. Permasalahan Fifofarmac adalah tidak masuk dalam Forum Obat Nasional, Fitofarmaka juga masih ditolak oleh Perusahaan Asuransi Kesehatan Swasta, sehingga fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit juga enggan membeli dan menyediakan Fitofarmaka dalam pelayanan JKN karena khawatir akan timbul masalah. dalam proses klaim BPJS dan asuransi swasta.
Periklanan
Kementerian Kesehatan memadukan pengobatan konvensional dengan fitofarmaka. Hal tersebut diungkapkan CEO Farmal Health L. Rizka Andalucia dalam forum tersebut. “Kementerian Kesehatan telah berhasil mengintegrasikan jamu di RS Sardjito, semoga kedepannya juga sukses di fasilitas kesehatan konvensional lainnya,” kata Rizka.
Rizka yang juga Plt. Kepala Badan POM mengungkapkan hingga 80 persen penduduk dunia menggunakan obat herbal. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan pelayanan kesehatan yang mandiri, salah satunya adalah pengobatan alami.
Selain itu, staf khusus Menteri Kesehatan Prof. Laksono Trisnantoro mengatakan fitofarmaka saat ini sudah tidak lagi tergolong obat tradisional. Oleh karena itu, fitofarmaka setara dengan pengobatan modern. “Sumber pembiayaan BPJS merupakan peluang karena Fitofarmaka bukan lagi obat tradisional,” Laksono.
Salah satu dokter dari RSUP dr. Sardjito, Prof. dr. Nyoman Kertia mengungkapkan, pihaknya banyak meresepkan obat herbal kepada pasien. Menurutnya, pasien sangat senang saat mendapat resep obat alami. “Di RS Sardjito, saat ini ada sekitar 50 dokter yang meresepkan jamu. Itu bisa jadi modal. Saya sendiri meresepkan jamu untuk sekitar 2.000 pasien,” kata dr. Nyoman.
Selain itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD juga meresepkan obat fitofarmaka kepada pasien. Dokter spesialis penyakit dalam ini juga meresepkan obat fitofarmaka bagi pasien yang membutuhkan alternatif obat penghambat pompa proton (PPI). “Dalam praktek klinis saya menggunakan obat ini (fitofarmaka),” kata Ari.
Pilihan Editor: Perbedaan obat herbal dan fitofarmaka serta kegunaannya
Quoted From Many Source