Profil Kiai Sadrach, Tokoh Gereja di Pulau Jawa yang Meninggal 99 Tahun Lalu

TEMPO.CO, Jakarta – Kiai Sadrach merupakan contoh sukses kepemimpinan Kristen yang berhasil membangun masyarakat adat yang dekat dengan budaya Jawa.

Semasa hidupnya, ia diakui sebagai pemimpin gereja terbesar di Jawa, menjadikannya tokoh yang berpengaruh di masyarakat. Kiai Sadrach diketahui meninggal dunia pada 14 November 1924.

Kiai Sadrach lahir dengan nama Radin di Purworejo sekitar tahun 1835 dan berasal dari keluarga Islam Jawa di Kawedanan Jepara. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah umum dan bersekolah di berbagai pesantren di Jawa Timur, ia menetap di kawasan Kauman, Semarang. Disana dia menambahkan nama Arab pada namanya dan menjadi Radin Abbas.

Perubahan besar dalam hidupnya terjadi ketika Radin mulai tertarik dengan agama Kristen setelah mengetahui mantan guru IPA-nya, Kurmen, telah masuk Kristen oleh penginjil ANGKAL Wulung.

Radin sangat terkesan dengan ajaran yang diterimanya dari ANGKAL Wulung. Bersama guru sainsnya Kurmen, Radin berangkat ke Batavia pada tahun 1866 untuk bertemu Anthing. Pada tanggal 14 April 1867, Radin memutuskan untuk membaptis dirinya dengan nama Kristen Sadrach.

Pada awal karirnya sebagai penginjil Jawa, beliau menjadi asisten dalam pelayanan Kiai nggula Wulung di Semarang. Dengan menggunakan metode yang sama seperti Kiai ngul Wulung, beliau melakukan praktik diskusi umum, metode yang biasa digunakan oleh guru ngilmu Jawa, dimana guru yang kalah bersama murid-muridnya harus menjadi murid dari guru ngilmu yang menang.

Kiai Sadrach menunjukkan bakat yang luar biasa dalam kiprahnya sebagai penginjil. Pada akhir tahun 1870-an, jumlah anggota jemaah mencapai hampir 2.500 orang, suatu pencapaian yang luar biasa dalam sejarah penyebaran Injil di Pulau Jawa. Namun peraturan pemerintah kolonial Belanda yang melarang penyebaran Injil kepada orang yang masuk Islam menjadi kendala.

Baca Juga  Dalam pertemuan antara Prabowo dan Zelensky, tidak hanya Ukraina yang dibicarakan, tapi juga Gaza

Periklanan

Dengan segala keberhasilan yang diraihnya, Kiai Sadrach ditahbiskan menjadi rasul Jawa pada tahun 1899 di Batavia. Posisi ini diakui secara internasional dan memberinya hak untuk menyelenggarakan sakramen. Sejak saat itu, kedudukan Kiai Sadrach di gereja setara dengan pejabat gereja lainnya, dan jemaahnya diakui setara dengan kelompok jemaah lainnya.

Namun popularitasnya juga mengancam posisinya. Ia dituduh melakukan sinkretisme antara Kristen dan Jawa, serta dianggap salah memahami esensi ajaran Kristen ortodoks. Tuduhan yang lebih serius menyebutkan bahwa Kiai Sadrach mengaku sebagai perwujudan Kristus atau konsep Ratu Adil yang akan datang.

Isu negatif seputar Kiai Sadrach memaksa NGZV (Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereenigin) melakukan penyelidikan, meski tanpa wawancara langsung dengan Kiai Sadrach. Ia bahkan dituduh menentang kebijakan vaksinasi cacar pemerintah Belanda dan dipenjarakan, namun kemudian dibebaskan. Konflik meningkat pada tahun 1891 ketika para misionaris Belanda memisahkan diri dari jemaah Kiai Sadracha. Sejak itu, hubungan antara Kristen Eropa dan Kristen Jawa terputus, dan gereja yang didirikan oleh Kiai Sadrach itu berfungsi sendiri.

Selama 30 tahun berikutnya (1894-1924), Kiai Sadrach tetap menjadi pendeta dan menyelenggarakan sakramen Perjamuan Kudus tanpa keterlibatan misi Belanda. Namun dengan berubahnya strategi dakwah Belanda dari perkebunan di pedesaan menjadi akses melalui pendidikan dan kesehatan di perkotaan, jemaah Kiai Sadracha mulai berkurang.

Akhirnya Kiai Sadrach semakin terkucil dan statusnya praktis kembali ke tradisi kiai atau guru ngilm khas dunia Jawa.

INDONESIA.GO.ID | BIOKRISTIK
Pilihan Editor: Kisah Museum Radya Pustak, salah satu museum tertua di Indonesia



Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *